Meniru Jepang? Memalukan!

0

"Takeshi Maekawa saja riset Loncat Batu di Nias untuk bikin jurusnya Chinmi kok!"

PERNYATAAN kegeraman itu meluncur dari mulut Basuki Rahmat (26), komikus muda dari Purwokerto, tatkala disinggung tentang gaya visual dan tutur komik Jepang yang banyak ditiru oleh para komikus Indonesia.

Dunia perkomikan Indonesia memang sedang dirundung petaka kronis. Berjuta gugatan dilancarkan oleh para penggemar komik Indonesia yang menyimpan kegeraman serupa. Ide, alur cerita (storytelling), visual, bahkan sampai dengan imitasi komik luar negeri, terutama Jepang, dinilai merapuhkan komik sebagai media penyampai pesan-pesan sosial di tingkat lokal.

Tentu bukan tanpa alasan, Uki--begitu panggilan akrabnya—melontarkan kalimat pedas di atas. "Kita masih bisa menggali banyak hal dari lokal Indonesia. Baik itu ide cerita maupun teknis penggambaran karakter dan setting," tuturnya beberapa waktu lalu di Kamarbuku, komunitas di mana ia turut bergabung.

"Memang benar bahwa komik Jepang atau luar juga memiliki pesan-pesan sosial dan edukasi. Namun tetap saja banyak hal yang tidak bisa ter-cover," tambahnya sembari menjelaskan, dari sisi teknis visual, citra wajah pada komik Jepang didominasi garis-garis lurus, yang mana itu bukan karakter penggambaran wajah khas orang Indonesia.

"Itulah salah satu sebabnya posisi komik di Indonesia masih seperti anak tiri. Ketika masyarakat melihat karakter komik yang mendominasi adalah komik Jepang, maka masyarakat di sini melihat bahwa komik adalah konsumsi ala luar negeri, bukan Indonesia," jelas Uki dengan mantap.

Bagi Uki, dunia komik bukanlah sesuatu yang baru ia kenal kemarin sore. Lelaki kurus yang baru saja merampungkan studinya di Fakultas Hukum Unsoed ini bukanlah sekadar penyuka komik. Ia rajin menggoreskan tinta, merangkai cerita bergambar yang memang menjadi bakatnya, dengan berpedoman pada kebebasan eksplorasi sang pengkarya. Uki bahkan dua kali menolak tatkala dipinang untuk bergabung dengan Grup Gramedia, karena tak mau karakter visualnya diubah.



Uki tentu saja tak sendirian. Beng Rahadian (31), komikus dari Akademi Samali Jakarta, turut merasa gerah dengan perkembangan dunia komik lokal yang sudah kelewatan dalam mengadopsi gaya luar. Beng membedakan antara komikus yang terinspirasi komik luar dengan komikus yang melakukan imitasi atau peniruan.

"Terinspirasi mungkin tak apa sebagai proses pencarian diri. Namun jangan keenakan dan kelamaan, karena kalau seperti sekarang ini, kita sebenarnya sudah dalam taraf mengimitasi produk yang sudah jelas mapan. Dan ini berbahaya," tegas komikus berambut gondrong yang karyanya muncul setiap hari Minggu di Koran Tempo.

Beng menambahkan, "Kalau terus-menerus mengimitasi, komikus sebagai kreator sudah kehilangan proses belajarnya, yaitu tidak ada pergulatan kreatif. Padahal, dari situlah hasil karya seorang seniman atau komikus menjadi berharga. Inspirasi atau pengaruh itu harus diolah lagi sehingga membentuk karya baru."

Parahnya lagi, ada sebagian komikus yang meniru Jepang bukan hanya pada visual komiknya, bahkan mereka mengganti nama seperti nama orang Jepang. "Ada tuh, namanya Tatsumaki. Orang Bandung yang bikin buku How to Learn Manga. Aneh! Kenapa kita malah musti belajar yang khas Jepang sono, padahal kita masih bisa menggali banyak hal dari lokal Indonesia. How to Learn Manga buatku sangat menjijikkan. Seperti tak punya identitas saja," ungkap Uki.

Tatsumaki yang dimaksud memang tak pernah terungkap nama sebenarnya. Mengganti nama dengan yang berbau Jepang memang erat hubungannya dengan siasat menembus pasar di Indonesia untuk memanfaatkan pola pikir masyarakat yang masih lebih mencintai produk luar, dalam hal ini Jepang.

Inspirasi visual dari komik Eropa maupun Jepang untuk membentuk karya yang baru sebenarnya malah bisa menguatkan, asal tidak mengimitasi. Uki menunjuk Sawoeng Kampret dan Panji Koming (Dwi Koendoro) terinsipirasi oleh gaya Eropa.

"Visualnya sederhana. Goresan Dwi Koendoro bergaya Eropa, tapi dia mengolahnya dengan karakter yang akrab dengan masyarakat kita," kata Uki.

Sedangkan Beng sampai saat ini masih mengakui visual yang paling menonjol lokalitasnya adalah Petruk Tumaritis (Tatang S.). "Tak cuma dari segi visual, bahkan ide dan alur ceritanya sangat menggambarkan lokalitas. Dan ternyata komik Tatang S. sangat diterima di masyarakat," jelas Beng.

Bagi Uki, persoalan komik diterima atau tidak oleh masyarakat memang penting. "Namun ada yang lebih penting, yakni persoalan mentalitas komikus berproses menemukan identitasnya sendiri dan bukannya meniru yang sudah mapan."

"Mau sampai kapan kita meniru? Takeshi Maekawa saja riset Loncat Batu di Nias untuk bikin jurusnya Chinmi," ungkap Uki dengan nada serius.* (bkj)

(Koran Rakyat, Februari 2007)

0 komentar to “ Meniru Jepang? Memalukan! ”

Follower

Sample widget