Perkenalkan, Nama Saya Patung Kinetik

0

PULUHAN benda pipih layaknya pita beraneka warna terjuntai ke bawah dan meliuk-liuk berirama. Semakin kencang angin menyambar, semakin genit pula lengkungan spiral itu. Saking terhipnotisnya, seorang pengunjung bahkan sempat berbisik lirih, "Saya membayangkan ini kayak bokong Inul."

Sejak Minggu (11/3), Rumah Arisan memang dipenuhi karya Mursalim (30), seorang seniman patung kinetik (kinetic sculptures) jebolan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, untuk diapresiasi oleh publik. Nama Mursalim terdengar asing, karena semenjak kepulangannya ke Purwokerto pada 2001, ia lebih banyak menggarap seni sastra dan teater. Bagi para pendengar radio pecandu acara Sama-Sama Belajar Sastra dan Puisi (Sambel Trasi) di RRI, Mursalim memang lebih dikenal dengan nama Lin Mursal.

Tatkala berbincang di rumahnya (11/3), Mursalim mengaku karyanya lebih menonjolkan pada aspek warna sebagai satu turunan dari unsur gerak yang wajib terpenuhi. Apabila dilihat dari arah samping, garis potong-semu warna antara spiral satu dengan yang lain menimbulkan fantasi tersendiri.

"Geraknya ada yang ke atas dan ke bawah. Apabila ke atas, ia seolah tak berujung dan mencapai langit. Kalau ke bawah, ia seperti hendak mengebor tanah," katanya menirukan seorang pengunjung yang dimintai penilaian akan karyanya itu.

Main-Main Sebagai Konsepsi
Patung kinetik memang tak populer di Indonesia. Padahal, jenis karya patung ini mulai berkembang di Eropa pada kisaran tahun 1920-an dengan mengedepankan aspek gerak secara nyata dari benda-benda tiga dimensi, sebagai syarat utamanya. Ditengarai, baru dikenal di Indonesia pada kisaran akhir 1970-an. Pun demikian, pengakuan atas patung kinetik sebagai salah satu bagian dari seni patung hanya berkutat pada lembaga pendidikan yang khusus mempelajari ikhwal seni.

Mursalim menyebut Marcel Duchamp sebagai salah satu peletak dasar dekonstruksi terhadap patung secara konvensional yang cenderung diam-statik dan paling banter hanya mampu menghasilkan efek gerakan yang semu. "Duchamp menyebut karyanya sebagai patung, padahal ia hanya mempertontonkan semacam roda sepeda yang berputar pada porosnya," ungkap Mursalim sembari tertawa.

Konsepsi "main-main" seperti yang ditunjukkan Duchamps inilah yang lantas menjadi salah satu pedoman bagi para seniman untuk berkarya. Tentulah, istilah ‘main-main’ bukan sekadar iseng atau berkonotasi tak serius, melainkan lebih mengacu pada proses mencapai suatu pemaknaan dan metode berkarya yang baru. Rumus umum memang berlaku: kebaruan menjadi hal yang mutlak dipenuhi oleh seorang seniman. Sebuah karya seni hanya akan menjadi sampah tatkala terjebak pada imitasi realitas yang telah banyak dimamah oleh obrolan di warung kopi atau tempat-tempat umum lainnya.

Angin Sebagai Penggerak
Mursalim menjelaskan, segala benda tiga dimensi yang bergerak, bisa disebut sebagai patung kinetik. Berbagai macam alat penggerak pun diakui sebagai bagian yang intrinsik dari karya tersebut. "Penggerak bisa kita dapatkan dari mesin, atau bahkan yang alami seperti angin dan air," jelas lelaki yang membutuhkan waktu 11 tahun untuk menamatkan kuliahnya ini.

Karya Mursalim kali ini mengandalkan angin sebagai penggeraknya. Tak heran, kita mungkin akan melongo dan gemas tak sabar ketika menyaksikan spiral-spiral itu hanya diam tak bergeming karena angin tak segera berhembus menerpa. Tapi jangan tanya, tatkala angin berhembus agak kencang memasuki ruang pamer, para pengunjung tiba-tiba terdiam dan benar-benar terpukau pada gerakan meliuk warna-warni yang ada di depan mata.

Asas kerja yang sederhana dengan memanfaatkan alam ternyata mampu membuahkan berbagai macam fantasi di benak para penikmat. Seperti gerakan ular yang tak patah-patah, kata seorang pengunjung. "Menakutkan! Aku seperti sedang diserang bor dari segala penjuru," celoteh pengunjung lain yang merebahkan diri di bawah spiral-spiral bergelantungan itu.

Sang seniman sendiri sudah barang tentu membebaskan penafsiran publik pengunjung dalam menikmati karyanya. Ia memang berambisi untuk menyuguhkan efek karya seninya secara psikologis. "Ada yang bilang karya saya memberi ketenangan pikiran. Ya silakan saja," katanya lugu.

Karya Yang Steril
Karya seni tentulah bukan barang pabrikan yang diproduksi secara massal. Meski tak bisa kita pungkiri, kecenderungan para seniman untuk membuat sesuatu yang estetis dan eksklusif ternyata harus berhadapan dengan raksasa berkekuatan modal, dan pada rongga inilah Mursalim merasa kesulitan. Sebagai seorang seniman, Mursalim menyimpan obsesi tertinggi di wilayahnya. "Pameran tunggal merupakan derajat tertinggi bagi seniman, tapi karena serba terbatas ya sebut saja ini sebagai nyaris pameran tunggal," jelasnya sembari terkekeh.

Harapan dari sang seniman menampilkan karyanya ini tak muluk-muluk. Untuk publik Purwokerto ia jelas belum melihat potensi pengakuan. Ia hanya berharap celetukan heran dari pengunjung, "Oooh, ini patung tho!"

Sayangnya, karya Mursalim kali ini merupakan karya yang steril. Ia tak berkehendak untuk menciptakan ruang-ruang sosial untuk berbicara realitas. Padahal, patung kinetik yang mengandalkan unsur gerak, sebenarnya mampu untuk ‘nakal’ melakukan kritik sosial atau bahkan sebagai seni terapan yang sangat berguna.

Banyak perkembangan teknologi yang sebenarnya menyisakan ruang bagi kreasi-kreasi seni patung kinetik. Perpaduan teknologi dan seni ini sesungguhnya terlalu renyah untuk dilewatkan. Sebutlah misal, kincir angin/air bagi dunia pertanian, yang apabila mengacu pada asas kerjanya, jelas tergolong dalam seni patung kinetik. Dan Mursalim sebagai kreator, sampai saat ini rasanya belum menuju ke arah sana.* (bkj)

(Koran Rakyat, Maret 2007)

0 komentar to “ Perkenalkan, Nama Saya Patung Kinetik ”

Follower

Sample widget