Obrolan: Komikus Kita Belum Kuat

0

PENIKMAT komik di Indonesia lebih menyukai komik buatan Jepang dan Eropa. Mereka menilai komik buatan Indonesia tidak memiliki kekuatan, baik secara visual artistik maupun dari segi penceritaan. Menghimpun ketidakpuasan para pembaca komik dan melakukan interviu dengan Beng Rahadian (BR), komikus dari Akademi Samali Jakarta, akan menjawab beberapa kegelisahan itu.

BKJ: Para penikmat kecewa dengan komik Indonesia yang hampir seluruhnya ide cerita sangat biasa bahkan membosankan.
BR: Bener banget, kita memang punya masalah dalam tataran itu. Ide ceritanya bahkan monoton dan tak banyak berubah dari waktu ke waktu. Idenya itu-itu saja.

BKJ: Ini merembet ke alur cerita yang benar-benar flat (datar) dan mudah ditebak. Bahkan sama sekali tak kuat pada lead/teaser di awal-awal cerita. Setuju nggak?
BR: Setuju. Masalahnya, kawan-kawan komikus punya keinginan yang besar, bahkan terlalu besar, tapi eksekusi nihil. Mereka tidak bisa menyederhanakan cerita atau sebaliknya, mengembangkan cerita yang sederhana.

BKJ: Cara bercerita (storytelling) para komikus kita benar-benar kacau, layaknya mobil yang tersendat-sendat atau bahkan mobil yang terlalu cepat melaju. Ini sangat mengecewakan.
BR: Ya lagi-lagi itu harus kita akui. Pada storytelling juga punya banyak masalah. Banyak komikus tidak belajar dari komik-komik yang dibacanya, atau film yang di tontonnya. Mereka saat membuat komik ibarat memakai kacamata kuda: berhenti pada sekadar menggambar yang bagus. Tatkala ingin menggambar komik action yang "wah", halaman demi halaman diisi dengan gambar orang berkelahi. Padahal yang namanya komik action di manapun, tidak semua halamannya gambar jagoan berkelahi.

BKJ: Kebanyakan komikus tidak punya karakter tokoh maupun karakter visual yang konsisten. Meskipun itu terkait dengan proses berkarya, tetapi tatkala berhadapan dengan pasar, maka ini menjadi satu hal yang sangat penting, bukan?
BR: Ya, memang kebanyakan komikus tidak memperhatikan hal penting ini. Tapi fatalnya dalam karya-karya mereka tidak didukung oleh peran-peran dari karakter lain yang seharusnya saling mendukung. Mereka lupa untuk membuat universe (semesta) ceritanya.

BKJ: Sebenarnya apa kesulitan di tingkatan komikus kita, baik pada tahap pra, produksi dan pasca?
BR: Mereka belum terbiasa bekerja sama, baik itu tahap pra-produksi sampai pasca-produksi. Kelemahan pada ide, alur dan cara bercerita harusnya bisa diatasi. Misalnya, kalau si komikus nggak bisa nulis cerita ya harusnya cari orang yang punya ide dan bisa menulis cerita. Komikus kita seringkali berlaku seperti superhero yang seolah-olah bisa mengerjakan semuanya sendirian! Hahaha...

BKJ: Ini satu hal yang sangat penting. Adakah budaya riset sebelum komikus kita bikin karya?
BR: Nah! Itu dia! Jarang sekali! Kalaupun ada yang riset, mereka melakukannya setengah-setengah, sangat kasar dan tidak mendalam, sehingga banyak dis-orientasi setting. Pernah lho aku menemukan hal yang sangat konyol. Ada teman komikus ingin menceritakan setting Jakarta, tapi yang digambar malah setting Tokyo. Itu karena mereka tak melakukan riset. Riset itu selain untuk kepentingan cerita, juga untuk kepentingan visual-artistiknya. Iya, jarang riset, itu yang menyebabkan komik kita masih berjarak dengan pembacanya. *


Beng Rahadian
Lahir : Cirebon, 29 Mei 1975.
Pendidikan : Lulusan ISI Jogjakarta
Status : Menikah
Komunitas : Akademi Samali (www.akademisamali.multiply.com)
Pekerjaan : Komikus Mingguan di Koran Tempo
E-Mail : tehjahe@yahoo.com

(Dimuat di Koran Rakyat, Februari 2007)

0 komentar to “ Obrolan: Komikus Kita Belum Kuat ”

Follower

Sample widget