Komik Lokal Tak Menguntungkan

0


DATANGLAH ke beberapa pusat penyewaan komik di Purwokerto dan tanyakan berapa jumlah komik Indonesia yang tersedia. Tapi awas, jangan berharap mendapati puluhan atau bahkan ratusan, karena kita akan kecewa.

Beberapa pengelola bahkan ogah-ogahan berkisah seputar distribusi komik lokal di persewaan mereka. Putus asa, geram bahkan sudah tak peduli, adalah sebagian besar reaksinya.

Martin (25), pengelola Comic Plus di Jalan Kampus, akhirnya buka kartu. Dari sekitar 4800 lebih jumlah komik yang ia kelola, hanya Panji Tengkorak edisi cetak ulang yang ia sodorkan. Itupun tak lebih dari 10 nomor. Lainnya? "Nggak ada," jawabnya singkat.

Logikanya memang sudah jelas. Komik lokal tak laku di pasar. Martin berkisah, ia sebenarnya telah mengusahakan komik-komik lokal tersedia di tempatnya. "Saya dulu mencari komik lokal ke distributor besar di Bandung dan ternyata di sana nggak ada. Ketika saya tanya kenapa, mereka hanya menjawab karena nggak ada yang minat, sehingga daripada rugi di ongkos dan tenaga, ya mendingan nggak usah."

Para pengelola persewaan komik rata-rata juga menuturkan hal yang sama. Mereka mengambil stok di distributor besar di luar kota. Biasanya distributor bisa menganalisa komik apa yang banyak diminati. "Nggak mungkin kita ambil komik yang nggak laku. Berat buat bisnis semacam ini," kata Martin.

"Saya sempat bertemu dengan vice president Elex (Elex Media Komputindo-red), dia bilang bagaimana mungkin menyediakan komik lokal, sedangkan permintaan pasar untuk komik Jepang sangat tinggi, sekitar 89 persen dari total distribusi komik yang ada di Indonesia," ungkap Martin beralasan.

Persoalan distribusi komik lokal sangat bergantung dari kualitas komik itu sendiri. Padahal, justru di situlah letak kelemahan yang paling besar. Penikmat komik jelas tak mau mengeluarkan kocek hanya untuk cerita komik yang lemah, dengan alur yang buruk dan cara penceritaan yang tak kuat, seperti banyak ditunjukkan oleh komik lokal dewasa ini.

"Saya suka komik Jepang karena ceritanya sangat kuat. Kita bisa tertawa, ikut bersedih, bahkan menangis saat mengikuti ceritanya. Apalagi, secara visual gambar nyaris sempurna," kata Adi Iman (26) seorang penikmat komik. Pernyataan itu benar-benar mewakili banyak penikmat yang juga merasa lebih asyik dengan komik buatan luar, terutama Jepang.

Para komikus Indonesia tak boleh mengeluh apabila masyarakat kita sampai saat ini lebih menyukai 20th Century Boys dan sebangsanya. Mereka sebagai konsumen, berhak untuk mendapat komik yang bagus. Hukum kausalitas berlaku, komikus lokal harus mengutamakan kualitas agar publik mendapat kepuasan.

Para pengelola persewaan hanyalah pengikut dari kepuasan publik penikmat. Seperti Martin yang berjanji akan menyediakan komik-komik lokal di tempatnya. "Asalkan bagus dan banyak peminatnya," ucapnya sembari tertawa.*

(Dimuat di Koran Rakyat, Februari 2007)

0 komentar to “ Komik Lokal Tak Menguntungkan ”

Follower

Sample widget