Mural: Kolaborasi Publik dan Seniman

2

Meyakini bahwa bahasa visual yang paling efektif adalah gambar, dua perupa muda M. Ayat dan Mursalim berinisiatif menghelat project mural di Purwokerto. Rencananya, mereka akan menggandeng beberapa seniman muda lainnya untuk terlibat. Project seni ini menjadi ikhwal yang menarik tatkala kita memperbincangkannya dalam satu kancah keterlibatan publik nantinya, agar ia tak jatuh dalam corat-coret murahan.

Pemilihan tembok sebagai media menjadikan mural dengan serta-merta tak bisa steril. Artinya, mural tak sekadar diperlakukan sebagai seni an sich melainkan harus berbicara realitas sosial tanpa bermaksud untuk sok kritis. Selain itu, keberadaan karya di ruang publik mengharuskan para seniman untuk benar-benar mengurangi unsur ‘self’ dalam eksekusi. Keterlibatan masyarakat yang berada di sekitar tembok menjadi prioritas yang tak bisa ditawar. Dengan kata lain, mural lantas menjelma sebagai proses sosial terjadinya interaksi nyata antara seniman dengan masyarakat.

Efek psikologis mural pada tingkah laku masyarakat di sekitarnya jelas akan muncul. Tak jauh berbeda dengan baliho dan poster komersil yang tumpang-tindih menghajar alam bawah sadar kita agar konsumtif.

Pentingnya Riset
Interaksi yang nyata terdapat dalam riset pada pra dan pasca-eksekusi karya. Seniman melakukan kerja-kerja riset pra-eksekusi dengan membuat catatan lapangan berisikan observasi dan wawancara. Penerapan dua metode ini memberikan kesempatan besar untuk terbinanya satu hubungan yang sangat personal antara seniman dengan masyarakat yang diwakili oleh satu atau beberapa komunitas di dalamnya. Namun, itu juga belum mencukupi.
Faktor mobilitas atau lalu-lalang penduduk, bangunan fisik di sekitar lokasi bahkan keadaan geografis juga membutuhkan kecermatan dari seniman. Ini membuahkan tuntutan bahwa fakta kesejarahan wilayah dan karakter kota juga tak boleh terlupa.

Pada pasca-eksekusi, riset tetap berlanjut dengan fokus mengetahui respon publik sekaligus mengukur tingkat keberhasilan kolaborasi pemikiran antara seniman dan masyarakat sekitar. Seniman atau tim khusus melakukan interviu untuk mengumpulkan opini dan ekspektasi. Opini kita dudukkan sebagai respon terhadap karya mural yang telah jadi, sedangkan ekspektasi lebih pada bagaimana publik menilai kerja-kerja berkesenian yang telah dilakukan.

Biasanya, bila opini publik bagus, mereka akan berekspektasi lebih dan sangat apresiatif dengan seni mural. Jangan heran apabila nanti ada komunitas masyarakat yang berapresiasi tinggi namun di wilayahnya tidak dimural, niscaya para seniman akan diminta untuk memural tembok-tembok mereka. Yakinlah, apresiasi macam ini hanya akan tercipta apabila publik sedari awal dilibatkan.

Agaknya M. Ayat, Mursalim dan siapapun seniman yang nantinya terlibat, musti memiliki energi ekstra dan konsentrasi lebih. Seperangkat tim riset dan manajerial jelas dibutuhkan. Belum lagi soal kesulitan perijinan dan terutama sikap pemerintah kabupaten yang sudah menjadi rahasia umum di kalangan komunitas seni: tak mau peduli! *

(Tulisan ini adalah versi lengkap dari yang dimuat di Harian Suara Merdeka. Sabtu, 23 Juni 2007)

2 komentar to “ Mural: Kolaborasi Publik dan Seniman ”

  1. Anonymous says:

    Perlu tulisan yang didedikasikan untuk blog ini. Ditunggu karya kreatif selanjutnya.

    Toidin
    http://toidingede.wordpress.com

  1. tito says:

    HALO MAS BAYU....

Follower

Sample widget