Raciti

0

FILIPPO Raciti hanya kebetulan berprofesi sebagai polisi. Tak ada bedanya dengan wartawan, fotografer, pebisnis, makelar dan seabrek lainnya. Ia menjalankan tugas sebagai tenaga keamanan, layaknya wartawan yang harus menulis berita, fotografer yang harus mencari angle bidik yahud, ataupun dokter yang musti memberi jaminan perawatan atas kesehatan pasiennya.

Raciti hanya apes. Ia berada di tengah-tengah para manusia berkadar emosi tinggi yang sedang kalap, meluapkan amarah secara membabibuta. Sepakbola di tengah Catania versus Palermo pada Jumat (2/2), menjadi magnet atas berkerumunnya fanatisme para pendukung. Terlebih, ini derby, bung!

Maka celakalah ia. Terkepung suporter dua kubu yang bentrok, terkurung di dalam mobil, dan peledak rakitan meluncurlah mencabik-cabik mukanya. Profesi sebagai polisi jelas tak menjamin keselamatan Raciti.

Lelaki 38 tahun itu adalah korban tewas kesekian kalinya dari deretan panjang perilaku ganas suporter-suporter Italia. Bahkan sebenarnya rekor telah tercapai, dalam satu pekan kemarin sepakbola Italia memakan dua korban tewas. Sabtu (27/1) adalah hari naas bagi Ermanno Licursi. Suporter Cancellese menghajarnya tanpa ampun, apalagi Licursi adalah direktur tim amatir Sanmartinese, tamu yang mengalahkan tim kesayangan mereka 2-1. Gegar otak yang dialaminya segera mengantarkan pada kematian.

Maka jadilah Licursi dan Raciti sebagai tumbal peringatan atas keberingasan suporter Italia. FIGC siaga satu pasca tragedi itu. Fasilitas keamanan stadion-stadion di Italia dituding sebagai biang kerok kerusuhan. Kebijakan baru lantas dinyatakan, haram hukumnya bagi stadion-stadion berpengaman rendah menjejalkan puluhan ribu massa fanatik mereka.

San Siro, yang dihuni oleh dua klub berkocek tebal, langsung berdandan. Layaknya cerita dalam dongeng – kamera pengawas suporter, detektor senjata-kembang api-petasan, dan puluhan gerbang masuk suporter – langsung dibangun dalam semalam.

Jelas, ini adalah tragedi kemanusiaan yang tak hanya bergaung di Negeri Pizza, karena sepakbola telah menjadikannya sebagai perkara jagat raya. Di manapun si kulit bundar dimainkan, maka di situlah kedukaan turut mengalir.

Bagi suporter tim Liga Indonesia, tragedi ini tentu bukanlah suatu alasan pembenar nantinya untuk mencari Fillipo Raciti versi lokal. Entah Agus, Atmojo, Sigit, Rohman atau siapapun nama Raciti lokal, tak bolehlah para suporter kita mencabik-cabik mukanya dengan peledak atau perlakuan sadis lainnya.

Italia memang juara dunia dan berhak menjadi simbol supremasi sepakbola dunia, namun tragedi ini merupakan perkecualian. Dan satu hal terpenting ialah haram hukumnya apabila insan sepakbola Indonesia menjadikannya panutan bikin kerusuhan, dengan berkata: "Italia saja rusuh, masa’ kita nggak boleh!" *

(Koran Rakyat, Februari 2007. Identitas memakai nama Pemred, Sulaiman Ros)

0 komentar to “ Raciti ”

Follower

Sample widget