Mural: Kolaborasi Publik dan Seniman

2

Meyakini bahwa bahasa visual yang paling efektif adalah gambar, dua perupa muda M. Ayat dan Mursalim berinisiatif menghelat project mural di Purwokerto. Rencananya, mereka akan menggandeng beberapa seniman muda lainnya untuk terlibat. Project seni ini menjadi ikhwal yang menarik tatkala kita memperbincangkannya dalam satu kancah keterlibatan publik nantinya, agar ia tak jatuh dalam corat-coret murahan.

Pemilihan tembok sebagai media menjadikan mural dengan serta-merta tak bisa steril. Artinya, mural tak sekadar diperlakukan sebagai seni an sich melainkan harus berbicara realitas sosial tanpa bermaksud untuk sok kritis. Selain itu, keberadaan karya di ruang publik mengharuskan para seniman untuk benar-benar mengurangi unsur ‘self’ dalam eksekusi. Keterlibatan masyarakat yang berada di sekitar tembok menjadi prioritas yang tak bisa ditawar. Dengan kata lain, mural lantas menjelma sebagai proses sosial terjadinya interaksi nyata antara seniman dengan masyarakat.

Efek psikologis mural pada tingkah laku masyarakat di sekitarnya jelas akan muncul. Tak jauh berbeda dengan baliho dan poster komersil yang tumpang-tindih menghajar alam bawah sadar kita agar konsumtif.

Pentingnya Riset
Interaksi yang nyata terdapat dalam riset pada pra dan pasca-eksekusi karya. Seniman melakukan kerja-kerja riset pra-eksekusi dengan membuat catatan lapangan berisikan observasi dan wawancara. Penerapan dua metode ini memberikan kesempatan besar untuk terbinanya satu hubungan yang sangat personal antara seniman dengan masyarakat yang diwakili oleh satu atau beberapa komunitas di dalamnya. Namun, itu juga belum mencukupi.
Faktor mobilitas atau lalu-lalang penduduk, bangunan fisik di sekitar lokasi bahkan keadaan geografis juga membutuhkan kecermatan dari seniman. Ini membuahkan tuntutan bahwa fakta kesejarahan wilayah dan karakter kota juga tak boleh terlupa.

Pada pasca-eksekusi, riset tetap berlanjut dengan fokus mengetahui respon publik sekaligus mengukur tingkat keberhasilan kolaborasi pemikiran antara seniman dan masyarakat sekitar. Seniman atau tim khusus melakukan interviu untuk mengumpulkan opini dan ekspektasi. Opini kita dudukkan sebagai respon terhadap karya mural yang telah jadi, sedangkan ekspektasi lebih pada bagaimana publik menilai kerja-kerja berkesenian yang telah dilakukan.

Biasanya, bila opini publik bagus, mereka akan berekspektasi lebih dan sangat apresiatif dengan seni mural. Jangan heran apabila nanti ada komunitas masyarakat yang berapresiasi tinggi namun di wilayahnya tidak dimural, niscaya para seniman akan diminta untuk memural tembok-tembok mereka. Yakinlah, apresiasi macam ini hanya akan tercipta apabila publik sedari awal dilibatkan.

Agaknya M. Ayat, Mursalim dan siapapun seniman yang nantinya terlibat, musti memiliki energi ekstra dan konsentrasi lebih. Seperangkat tim riset dan manajerial jelas dibutuhkan. Belum lagi soal kesulitan perijinan dan terutama sikap pemerintah kabupaten yang sudah menjadi rahasia umum di kalangan komunitas seni: tak mau peduli! *

(Tulisan ini adalah versi lengkap dari yang dimuat di Harian Suara Merdeka. Sabtu, 23 Juni 2007)

Raciti

0

FILIPPO Raciti hanya kebetulan berprofesi sebagai polisi. Tak ada bedanya dengan wartawan, fotografer, pebisnis, makelar dan seabrek lainnya. Ia menjalankan tugas sebagai tenaga keamanan, layaknya wartawan yang harus menulis berita, fotografer yang harus mencari angle bidik yahud, ataupun dokter yang musti memberi jaminan perawatan atas kesehatan pasiennya.

Raciti hanya apes. Ia berada di tengah-tengah para manusia berkadar emosi tinggi yang sedang kalap, meluapkan amarah secara membabibuta. Sepakbola di tengah Catania versus Palermo pada Jumat (2/2), menjadi magnet atas berkerumunnya fanatisme para pendukung. Terlebih, ini derby, bung!

Maka celakalah ia. Terkepung suporter dua kubu yang bentrok, terkurung di dalam mobil, dan peledak rakitan meluncurlah mencabik-cabik mukanya. Profesi sebagai polisi jelas tak menjamin keselamatan Raciti.

Lelaki 38 tahun itu adalah korban tewas kesekian kalinya dari deretan panjang perilaku ganas suporter-suporter Italia. Bahkan sebenarnya rekor telah tercapai, dalam satu pekan kemarin sepakbola Italia memakan dua korban tewas. Sabtu (27/1) adalah hari naas bagi Ermanno Licursi. Suporter Cancellese menghajarnya tanpa ampun, apalagi Licursi adalah direktur tim amatir Sanmartinese, tamu yang mengalahkan tim kesayangan mereka 2-1. Gegar otak yang dialaminya segera mengantarkan pada kematian.

Maka jadilah Licursi dan Raciti sebagai tumbal peringatan atas keberingasan suporter Italia. FIGC siaga satu pasca tragedi itu. Fasilitas keamanan stadion-stadion di Italia dituding sebagai biang kerok kerusuhan. Kebijakan baru lantas dinyatakan, haram hukumnya bagi stadion-stadion berpengaman rendah menjejalkan puluhan ribu massa fanatik mereka.

San Siro, yang dihuni oleh dua klub berkocek tebal, langsung berdandan. Layaknya cerita dalam dongeng – kamera pengawas suporter, detektor senjata-kembang api-petasan, dan puluhan gerbang masuk suporter – langsung dibangun dalam semalam.

Jelas, ini adalah tragedi kemanusiaan yang tak hanya bergaung di Negeri Pizza, karena sepakbola telah menjadikannya sebagai perkara jagat raya. Di manapun si kulit bundar dimainkan, maka di situlah kedukaan turut mengalir.

Bagi suporter tim Liga Indonesia, tragedi ini tentu bukanlah suatu alasan pembenar nantinya untuk mencari Fillipo Raciti versi lokal. Entah Agus, Atmojo, Sigit, Rohman atau siapapun nama Raciti lokal, tak bolehlah para suporter kita mencabik-cabik mukanya dengan peledak atau perlakuan sadis lainnya.

Italia memang juara dunia dan berhak menjadi simbol supremasi sepakbola dunia, namun tragedi ini merupakan perkecualian. Dan satu hal terpenting ialah haram hukumnya apabila insan sepakbola Indonesia menjadikannya panutan bikin kerusuhan, dengan berkata: "Italia saja rusuh, masa’ kita nggak boleh!" *

(Koran Rakyat, Februari 2007. Identitas memakai nama Pemred, Sulaiman Ros)

Indonesia vs Brazil

0

SEBUTLAH lelaki berambut gondrong dan kurus itu Arif Papi. Sepakbola adalah hidupnya. Bukan, ia bukan seorang striker haus gol. Papi juga bukan bek handal, apalagi penjaga gawang. Ia bukan siapa-siapa, melainkan hanya seorang ‘playmaker’.

Tapi tunggu. Bukan di lapangan ia tampil. Tak pernah ia berlatih. Tak pernah ia mendapatkan bayaran dari klub. Papi hanya sesekali meraih bayaran, karena tak seluruh taruhan ia menangkan. Taruhan? Ya.

Sayangnya, bukan soal taruhan yang akan kita bahas. Ada yang lebih menarik darinya, yakni seorang pecandu yang benci sepakbola Indonesia.

Bertanyalah kepada Arif Papi semua hal tentang sepakbola Indonesia. Tak ragu, ia hanya akan menjawab acuh tak acuh, masa bodoh dan delapan puluh persen caci-makilah yang terlontar. Hufff, betapa bencinya ia akan sepakbola tanah air. Tanyalah semuanya pada Papi, tapi satu hal: jangan tanyakan soal PSSI padanya. Meludah adalah jawaban paling ringan.

Merasa penasaran, seorang kawan pernah menanyakan, apa yang membuat Papi benci bukan kepalang. Dan, baiklah, ini jawaban Papi.

Langkah pertama menurutnya adalah membandingkan. Kenapa? Ya karena pada hakekatnya menilai adalah membandingkan. Lantas dibandingkannya sepakbola kita dengan Brazil. "Aduh! Apa tak terlalu tinggi tuh?" protes kawan tadi. Papi hanya tertawa menunjukkan giginya yang kuning.

Apa bedanya kultur sepakbola kita dengan Brazil, ia balik bertanya. Masih bengong kawan tadi, Papi langsung meneruskan. Tak ada bedanya kita dengan Brazil. Lihatlah, dari hitungan ekonomi kita dan Brazil sama dalam status negara dunia ketiga. Regio Asia dan Amerika Latin tak ada beda. Secara geografis, bermain bola di daerah pasir pantai untuk melatih fisik, misalnya, sama bisa dilakukan.

Di Brazil, anak-anak kecil bermain di sudut-sudut jalan, atau di petak lapang kecil. Indonesia? Lihatlah tiap sore, anak-anak tak lagi berpusing hujan atau tidak, mereka asyik menendang.

Bahkan, sebenarnya soal populasi penghuninya, Indonesia lebih banyak. Paling tidak 206 juta manusia Indonesia pada tahun 2000. Pada tahun yang sama, Samba hanya 169 juta. Perkiraan si pintar Wikipedia, pada 2006, Negeri Ronaldinho mencapai 188 juta orang. Kita sudah masuk 222 juta. Nah, populasi ini berguna untuk membuat kemungkinan anak-anak bangsa menjadi pemain bola handal.

Soal fanatisme publik secara umum, jangan tanya. Ambillah contoh yang paling ganas. Toh, Papi yakin, hooligans bukan tandingan bonek. "Hooligans itu harus mabuk dulu, baru rusuh. Padahal kalau sedang mabuk kan ndak takut apapun. Lha, kalau bonek Indonesia tak perlulah sampai mabuk," katanya mantap.

Tentu bukan soal bikin rusuh atau mabuknya yang kita ambil. Melainkan harapan, asa, fanatisme dan keinginan mereka untuk melihat sepakbola kita maju. Arif Papi tak asal omong, karena banyak orang sudah lama berpikir sepertinya. Brazil dan Indonesia tak ada beda, apalagi kalau menengok sejarah sepakbola kita.

Berhenti? Belum. Nah, sekarang tanyakan padanya, di mana letak kesalahan sepakbola kita. Tapi satu hal, jangan bilang PSSI tak bersalah dalam hal ini. Asbak atau benda terdekat bisa melayang ke muka kita.

Arif Papi benci, sepabola Indonesia tak maju-maju.*

Perkenalkan, Nama Saya Patung Kinetik

0

PULUHAN benda pipih layaknya pita beraneka warna terjuntai ke bawah dan meliuk-liuk berirama. Semakin kencang angin menyambar, semakin genit pula lengkungan spiral itu. Saking terhipnotisnya, seorang pengunjung bahkan sempat berbisik lirih, "Saya membayangkan ini kayak bokong Inul."

Sejak Minggu (11/3), Rumah Arisan memang dipenuhi karya Mursalim (30), seorang seniman patung kinetik (kinetic sculptures) jebolan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, untuk diapresiasi oleh publik. Nama Mursalim terdengar asing, karena semenjak kepulangannya ke Purwokerto pada 2001, ia lebih banyak menggarap seni sastra dan teater. Bagi para pendengar radio pecandu acara Sama-Sama Belajar Sastra dan Puisi (Sambel Trasi) di RRI, Mursalim memang lebih dikenal dengan nama Lin Mursal.

Tatkala berbincang di rumahnya (11/3), Mursalim mengaku karyanya lebih menonjolkan pada aspek warna sebagai satu turunan dari unsur gerak yang wajib terpenuhi. Apabila dilihat dari arah samping, garis potong-semu warna antara spiral satu dengan yang lain menimbulkan fantasi tersendiri.

"Geraknya ada yang ke atas dan ke bawah. Apabila ke atas, ia seolah tak berujung dan mencapai langit. Kalau ke bawah, ia seperti hendak mengebor tanah," katanya menirukan seorang pengunjung yang dimintai penilaian akan karyanya itu.

Main-Main Sebagai Konsepsi
Patung kinetik memang tak populer di Indonesia. Padahal, jenis karya patung ini mulai berkembang di Eropa pada kisaran tahun 1920-an dengan mengedepankan aspek gerak secara nyata dari benda-benda tiga dimensi, sebagai syarat utamanya. Ditengarai, baru dikenal di Indonesia pada kisaran akhir 1970-an. Pun demikian, pengakuan atas patung kinetik sebagai salah satu bagian dari seni patung hanya berkutat pada lembaga pendidikan yang khusus mempelajari ikhwal seni.

Mursalim menyebut Marcel Duchamp sebagai salah satu peletak dasar dekonstruksi terhadap patung secara konvensional yang cenderung diam-statik dan paling banter hanya mampu menghasilkan efek gerakan yang semu. "Duchamp menyebut karyanya sebagai patung, padahal ia hanya mempertontonkan semacam roda sepeda yang berputar pada porosnya," ungkap Mursalim sembari tertawa.

Konsepsi "main-main" seperti yang ditunjukkan Duchamps inilah yang lantas menjadi salah satu pedoman bagi para seniman untuk berkarya. Tentulah, istilah ‘main-main’ bukan sekadar iseng atau berkonotasi tak serius, melainkan lebih mengacu pada proses mencapai suatu pemaknaan dan metode berkarya yang baru. Rumus umum memang berlaku: kebaruan menjadi hal yang mutlak dipenuhi oleh seorang seniman. Sebuah karya seni hanya akan menjadi sampah tatkala terjebak pada imitasi realitas yang telah banyak dimamah oleh obrolan di warung kopi atau tempat-tempat umum lainnya.

Angin Sebagai Penggerak
Mursalim menjelaskan, segala benda tiga dimensi yang bergerak, bisa disebut sebagai patung kinetik. Berbagai macam alat penggerak pun diakui sebagai bagian yang intrinsik dari karya tersebut. "Penggerak bisa kita dapatkan dari mesin, atau bahkan yang alami seperti angin dan air," jelas lelaki yang membutuhkan waktu 11 tahun untuk menamatkan kuliahnya ini.

Karya Mursalim kali ini mengandalkan angin sebagai penggeraknya. Tak heran, kita mungkin akan melongo dan gemas tak sabar ketika menyaksikan spiral-spiral itu hanya diam tak bergeming karena angin tak segera berhembus menerpa. Tapi jangan tanya, tatkala angin berhembus agak kencang memasuki ruang pamer, para pengunjung tiba-tiba terdiam dan benar-benar terpukau pada gerakan meliuk warna-warni yang ada di depan mata.

Asas kerja yang sederhana dengan memanfaatkan alam ternyata mampu membuahkan berbagai macam fantasi di benak para penikmat. Seperti gerakan ular yang tak patah-patah, kata seorang pengunjung. "Menakutkan! Aku seperti sedang diserang bor dari segala penjuru," celoteh pengunjung lain yang merebahkan diri di bawah spiral-spiral bergelantungan itu.

Sang seniman sendiri sudah barang tentu membebaskan penafsiran publik pengunjung dalam menikmati karyanya. Ia memang berambisi untuk menyuguhkan efek karya seninya secara psikologis. "Ada yang bilang karya saya memberi ketenangan pikiran. Ya silakan saja," katanya lugu.

Karya Yang Steril
Karya seni tentulah bukan barang pabrikan yang diproduksi secara massal. Meski tak bisa kita pungkiri, kecenderungan para seniman untuk membuat sesuatu yang estetis dan eksklusif ternyata harus berhadapan dengan raksasa berkekuatan modal, dan pada rongga inilah Mursalim merasa kesulitan. Sebagai seorang seniman, Mursalim menyimpan obsesi tertinggi di wilayahnya. "Pameran tunggal merupakan derajat tertinggi bagi seniman, tapi karena serba terbatas ya sebut saja ini sebagai nyaris pameran tunggal," jelasnya sembari terkekeh.

Harapan dari sang seniman menampilkan karyanya ini tak muluk-muluk. Untuk publik Purwokerto ia jelas belum melihat potensi pengakuan. Ia hanya berharap celetukan heran dari pengunjung, "Oooh, ini patung tho!"

Sayangnya, karya Mursalim kali ini merupakan karya yang steril. Ia tak berkehendak untuk menciptakan ruang-ruang sosial untuk berbicara realitas. Padahal, patung kinetik yang mengandalkan unsur gerak, sebenarnya mampu untuk ‘nakal’ melakukan kritik sosial atau bahkan sebagai seni terapan yang sangat berguna.

Banyak perkembangan teknologi yang sebenarnya menyisakan ruang bagi kreasi-kreasi seni patung kinetik. Perpaduan teknologi dan seni ini sesungguhnya terlalu renyah untuk dilewatkan. Sebutlah misal, kincir angin/air bagi dunia pertanian, yang apabila mengacu pada asas kerjanya, jelas tergolong dalam seni patung kinetik. Dan Mursalim sebagai kreator, sampai saat ini rasanya belum menuju ke arah sana.* (bkj)

(Koran Rakyat, Maret 2007)

Meniru Jepang? Memalukan!

0

"Takeshi Maekawa saja riset Loncat Batu di Nias untuk bikin jurusnya Chinmi kok!"

PERNYATAAN kegeraman itu meluncur dari mulut Basuki Rahmat (26), komikus muda dari Purwokerto, tatkala disinggung tentang gaya visual dan tutur komik Jepang yang banyak ditiru oleh para komikus Indonesia.

Dunia perkomikan Indonesia memang sedang dirundung petaka kronis. Berjuta gugatan dilancarkan oleh para penggemar komik Indonesia yang menyimpan kegeraman serupa. Ide, alur cerita (storytelling), visual, bahkan sampai dengan imitasi komik luar negeri, terutama Jepang, dinilai merapuhkan komik sebagai media penyampai pesan-pesan sosial di tingkat lokal.

Tentu bukan tanpa alasan, Uki--begitu panggilan akrabnya—melontarkan kalimat pedas di atas. "Kita masih bisa menggali banyak hal dari lokal Indonesia. Baik itu ide cerita maupun teknis penggambaran karakter dan setting," tuturnya beberapa waktu lalu di Kamarbuku, komunitas di mana ia turut bergabung.

"Memang benar bahwa komik Jepang atau luar juga memiliki pesan-pesan sosial dan edukasi. Namun tetap saja banyak hal yang tidak bisa ter-cover," tambahnya sembari menjelaskan, dari sisi teknis visual, citra wajah pada komik Jepang didominasi garis-garis lurus, yang mana itu bukan karakter penggambaran wajah khas orang Indonesia.

"Itulah salah satu sebabnya posisi komik di Indonesia masih seperti anak tiri. Ketika masyarakat melihat karakter komik yang mendominasi adalah komik Jepang, maka masyarakat di sini melihat bahwa komik adalah konsumsi ala luar negeri, bukan Indonesia," jelas Uki dengan mantap.

Bagi Uki, dunia komik bukanlah sesuatu yang baru ia kenal kemarin sore. Lelaki kurus yang baru saja merampungkan studinya di Fakultas Hukum Unsoed ini bukanlah sekadar penyuka komik. Ia rajin menggoreskan tinta, merangkai cerita bergambar yang memang menjadi bakatnya, dengan berpedoman pada kebebasan eksplorasi sang pengkarya. Uki bahkan dua kali menolak tatkala dipinang untuk bergabung dengan Grup Gramedia, karena tak mau karakter visualnya diubah.



Uki tentu saja tak sendirian. Beng Rahadian (31), komikus dari Akademi Samali Jakarta, turut merasa gerah dengan perkembangan dunia komik lokal yang sudah kelewatan dalam mengadopsi gaya luar. Beng membedakan antara komikus yang terinspirasi komik luar dengan komikus yang melakukan imitasi atau peniruan.

"Terinspirasi mungkin tak apa sebagai proses pencarian diri. Namun jangan keenakan dan kelamaan, karena kalau seperti sekarang ini, kita sebenarnya sudah dalam taraf mengimitasi produk yang sudah jelas mapan. Dan ini berbahaya," tegas komikus berambut gondrong yang karyanya muncul setiap hari Minggu di Koran Tempo.

Beng menambahkan, "Kalau terus-menerus mengimitasi, komikus sebagai kreator sudah kehilangan proses belajarnya, yaitu tidak ada pergulatan kreatif. Padahal, dari situlah hasil karya seorang seniman atau komikus menjadi berharga. Inspirasi atau pengaruh itu harus diolah lagi sehingga membentuk karya baru."

Parahnya lagi, ada sebagian komikus yang meniru Jepang bukan hanya pada visual komiknya, bahkan mereka mengganti nama seperti nama orang Jepang. "Ada tuh, namanya Tatsumaki. Orang Bandung yang bikin buku How to Learn Manga. Aneh! Kenapa kita malah musti belajar yang khas Jepang sono, padahal kita masih bisa menggali banyak hal dari lokal Indonesia. How to Learn Manga buatku sangat menjijikkan. Seperti tak punya identitas saja," ungkap Uki.

Tatsumaki yang dimaksud memang tak pernah terungkap nama sebenarnya. Mengganti nama dengan yang berbau Jepang memang erat hubungannya dengan siasat menembus pasar di Indonesia untuk memanfaatkan pola pikir masyarakat yang masih lebih mencintai produk luar, dalam hal ini Jepang.

Inspirasi visual dari komik Eropa maupun Jepang untuk membentuk karya yang baru sebenarnya malah bisa menguatkan, asal tidak mengimitasi. Uki menunjuk Sawoeng Kampret dan Panji Koming (Dwi Koendoro) terinsipirasi oleh gaya Eropa.

"Visualnya sederhana. Goresan Dwi Koendoro bergaya Eropa, tapi dia mengolahnya dengan karakter yang akrab dengan masyarakat kita," kata Uki.

Sedangkan Beng sampai saat ini masih mengakui visual yang paling menonjol lokalitasnya adalah Petruk Tumaritis (Tatang S.). "Tak cuma dari segi visual, bahkan ide dan alur ceritanya sangat menggambarkan lokalitas. Dan ternyata komik Tatang S. sangat diterima di masyarakat," jelas Beng.

Bagi Uki, persoalan komik diterima atau tidak oleh masyarakat memang penting. "Namun ada yang lebih penting, yakni persoalan mentalitas komikus berproses menemukan identitasnya sendiri dan bukannya meniru yang sudah mapan."

"Mau sampai kapan kita meniru? Takeshi Maekawa saja riset Loncat Batu di Nias untuk bikin jurusnya Chinmi," ungkap Uki dengan nada serius.* (bkj)

(Koran Rakyat, Februari 2007)

Obrolan: Komikus Kita Belum Kuat

0

PENIKMAT komik di Indonesia lebih menyukai komik buatan Jepang dan Eropa. Mereka menilai komik buatan Indonesia tidak memiliki kekuatan, baik secara visual artistik maupun dari segi penceritaan. Menghimpun ketidakpuasan para pembaca komik dan melakukan interviu dengan Beng Rahadian (BR), komikus dari Akademi Samali Jakarta, akan menjawab beberapa kegelisahan itu.

BKJ: Para penikmat kecewa dengan komik Indonesia yang hampir seluruhnya ide cerita sangat biasa bahkan membosankan.
BR: Bener banget, kita memang punya masalah dalam tataran itu. Ide ceritanya bahkan monoton dan tak banyak berubah dari waktu ke waktu. Idenya itu-itu saja.

BKJ: Ini merembet ke alur cerita yang benar-benar flat (datar) dan mudah ditebak. Bahkan sama sekali tak kuat pada lead/teaser di awal-awal cerita. Setuju nggak?
BR: Setuju. Masalahnya, kawan-kawan komikus punya keinginan yang besar, bahkan terlalu besar, tapi eksekusi nihil. Mereka tidak bisa menyederhanakan cerita atau sebaliknya, mengembangkan cerita yang sederhana.

BKJ: Cara bercerita (storytelling) para komikus kita benar-benar kacau, layaknya mobil yang tersendat-sendat atau bahkan mobil yang terlalu cepat melaju. Ini sangat mengecewakan.
BR: Ya lagi-lagi itu harus kita akui. Pada storytelling juga punya banyak masalah. Banyak komikus tidak belajar dari komik-komik yang dibacanya, atau film yang di tontonnya. Mereka saat membuat komik ibarat memakai kacamata kuda: berhenti pada sekadar menggambar yang bagus. Tatkala ingin menggambar komik action yang "wah", halaman demi halaman diisi dengan gambar orang berkelahi. Padahal yang namanya komik action di manapun, tidak semua halamannya gambar jagoan berkelahi.

BKJ: Kebanyakan komikus tidak punya karakter tokoh maupun karakter visual yang konsisten. Meskipun itu terkait dengan proses berkarya, tetapi tatkala berhadapan dengan pasar, maka ini menjadi satu hal yang sangat penting, bukan?
BR: Ya, memang kebanyakan komikus tidak memperhatikan hal penting ini. Tapi fatalnya dalam karya-karya mereka tidak didukung oleh peran-peran dari karakter lain yang seharusnya saling mendukung. Mereka lupa untuk membuat universe (semesta) ceritanya.

BKJ: Sebenarnya apa kesulitan di tingkatan komikus kita, baik pada tahap pra, produksi dan pasca?
BR: Mereka belum terbiasa bekerja sama, baik itu tahap pra-produksi sampai pasca-produksi. Kelemahan pada ide, alur dan cara bercerita harusnya bisa diatasi. Misalnya, kalau si komikus nggak bisa nulis cerita ya harusnya cari orang yang punya ide dan bisa menulis cerita. Komikus kita seringkali berlaku seperti superhero yang seolah-olah bisa mengerjakan semuanya sendirian! Hahaha...

BKJ: Ini satu hal yang sangat penting. Adakah budaya riset sebelum komikus kita bikin karya?
BR: Nah! Itu dia! Jarang sekali! Kalaupun ada yang riset, mereka melakukannya setengah-setengah, sangat kasar dan tidak mendalam, sehingga banyak dis-orientasi setting. Pernah lho aku menemukan hal yang sangat konyol. Ada teman komikus ingin menceritakan setting Jakarta, tapi yang digambar malah setting Tokyo. Itu karena mereka tak melakukan riset. Riset itu selain untuk kepentingan cerita, juga untuk kepentingan visual-artistiknya. Iya, jarang riset, itu yang menyebabkan komik kita masih berjarak dengan pembacanya. *


Beng Rahadian
Lahir : Cirebon, 29 Mei 1975.
Pendidikan : Lulusan ISI Jogjakarta
Status : Menikah
Komunitas : Akademi Samali (www.akademisamali.multiply.com)
Pekerjaan : Komikus Mingguan di Koran Tempo
E-Mail : tehjahe@yahoo.com

(Dimuat di Koran Rakyat, Februari 2007)

Komik Lokal Tak Menguntungkan

0


DATANGLAH ke beberapa pusat penyewaan komik di Purwokerto dan tanyakan berapa jumlah komik Indonesia yang tersedia. Tapi awas, jangan berharap mendapati puluhan atau bahkan ratusan, karena kita akan kecewa.

Beberapa pengelola bahkan ogah-ogahan berkisah seputar distribusi komik lokal di persewaan mereka. Putus asa, geram bahkan sudah tak peduli, adalah sebagian besar reaksinya.

Martin (25), pengelola Comic Plus di Jalan Kampus, akhirnya buka kartu. Dari sekitar 4800 lebih jumlah komik yang ia kelola, hanya Panji Tengkorak edisi cetak ulang yang ia sodorkan. Itupun tak lebih dari 10 nomor. Lainnya? "Nggak ada," jawabnya singkat.

Logikanya memang sudah jelas. Komik lokal tak laku di pasar. Martin berkisah, ia sebenarnya telah mengusahakan komik-komik lokal tersedia di tempatnya. "Saya dulu mencari komik lokal ke distributor besar di Bandung dan ternyata di sana nggak ada. Ketika saya tanya kenapa, mereka hanya menjawab karena nggak ada yang minat, sehingga daripada rugi di ongkos dan tenaga, ya mendingan nggak usah."

Para pengelola persewaan komik rata-rata juga menuturkan hal yang sama. Mereka mengambil stok di distributor besar di luar kota. Biasanya distributor bisa menganalisa komik apa yang banyak diminati. "Nggak mungkin kita ambil komik yang nggak laku. Berat buat bisnis semacam ini," kata Martin.

"Saya sempat bertemu dengan vice president Elex (Elex Media Komputindo-red), dia bilang bagaimana mungkin menyediakan komik lokal, sedangkan permintaan pasar untuk komik Jepang sangat tinggi, sekitar 89 persen dari total distribusi komik yang ada di Indonesia," ungkap Martin beralasan.

Persoalan distribusi komik lokal sangat bergantung dari kualitas komik itu sendiri. Padahal, justru di situlah letak kelemahan yang paling besar. Penikmat komik jelas tak mau mengeluarkan kocek hanya untuk cerita komik yang lemah, dengan alur yang buruk dan cara penceritaan yang tak kuat, seperti banyak ditunjukkan oleh komik lokal dewasa ini.

"Saya suka komik Jepang karena ceritanya sangat kuat. Kita bisa tertawa, ikut bersedih, bahkan menangis saat mengikuti ceritanya. Apalagi, secara visual gambar nyaris sempurna," kata Adi Iman (26) seorang penikmat komik. Pernyataan itu benar-benar mewakili banyak penikmat yang juga merasa lebih asyik dengan komik buatan luar, terutama Jepang.

Para komikus Indonesia tak boleh mengeluh apabila masyarakat kita sampai saat ini lebih menyukai 20th Century Boys dan sebangsanya. Mereka sebagai konsumen, berhak untuk mendapat komik yang bagus. Hukum kausalitas berlaku, komikus lokal harus mengutamakan kualitas agar publik mendapat kepuasan.

Para pengelola persewaan hanyalah pengikut dari kepuasan publik penikmat. Seperti Martin yang berjanji akan menyediakan komik-komik lokal di tempatnya. "Asalkan bagus dan banyak peminatnya," ucapnya sembari tertawa.*

(Dimuat di Koran Rakyat, Februari 2007)

Follower

Sample widget